“Ilmu sebelum berkata dan beramal”.
Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis (Disarikan dari Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Al-Jaza'iri, hal. 139- 141, Fashlu Tsamin (Bab VIII), fi Adabi Al-Julusi wa Al-Majlisi (Adab dalam bermajlis).
1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam.
2. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :
“Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).
3. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
4. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)
5. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Dawud)( Hadits dho’if dalam Dho’if Abu Dawud. Walaupun dha’if dan tak dapat digunakan sebagai hujjah, namun hendaklah kita menghindarkan diri dari duduk di tengah halaqoh, sebagai sikap berjaga-jaga dan berhati-hati.)
6. Seseorang di dalam majelis hendaknya memperhatikan adab-adab sebagai berikut :
• Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada tempatnya.
• Tidak menganyam jari, mempermainkan jenggot atau cincinnya, banyak menguap.
• memasukkan tangan ke hidung, dan sikapsikap lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.
• Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia.
• Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.
• Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong pembicaraannya.
• Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke sana ke mari.
• Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain, tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.
• Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.
• Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).
7. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah sebagaimana lafadhnya dalam muqoddimah di awal risalah ini, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah inipun dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh ( Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal 144-145 )
8. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :
Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang haq disembah melainkan diri- Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi, ketika Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di majelis.
.
KAIDAH MA’RIFATIL BIDA’
Sebelum menyebutkan kesalahan-kesalahan tersebut, ada baiknya kita fahami dulu Kaidah Ma’rifatil Bida’ (Kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui suatu amal tergolong bid’ah) sebagai dasar berpijak, agar tak menimbulkan bias dan mispersepsi.
1. Ta’rif (Definisi) Bid’ah.
a.) Bid’ah menurut bahasa/etimologi bermakna إختراع (ikhtira’) yaitu sesuatu yang
diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, misalnya perkataan orang Arab :
(artinya: Allah telah mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya, atau disingkat Allah telah menciptakan makhluk). Atau sebagaimana pula dalam firman Allah :
artinya : Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya (Al-Baqarah : 117).
b.) Bid’ah menurut istilah/terminology adalah :
artinya : “Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah” (Al-I’tisham I/37 ).
Hal ini mengacu kepada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
artinya : “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
artinya : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak. (HR Muslim)
2. Dalil haramnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. (Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 91-105)
• Dalil dari Al-Qur’an :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-An'am (6) : 153 )
Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky (Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya ) , menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
• Dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Dari Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak.” (HR Muslim)
Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
: "Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenarbenar kalam adalah Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang mengada-ada (muhdats) dan tiaptiap muhdats itu Bid’ah dan tiap kebid’ahan itu neraka tempatnya." (Muttafaq ‘alaihi)
Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.”(HR Muslim)
Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat).
Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya استثناء istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam I’tisham (Al-I’tisham (I/49)), menyatakan secara tegas bantahan terhadap orang-orang yang menyatakan keberadaan bid’ah hasanah, beliau rahimahullah berkata :
.
“Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengkhianati risalahnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu (ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini.” (‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20)
3. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.
Tauqifiyyah maksudnya adalah (Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al- Qur’an dan As-Sunnah) (Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al- Ubudiyah (Ubudiyah, hal. 127 ) menjelaskan tentang dua pondasi dasar dalam ibadah, yakni :
1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash)
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334 ) berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258), mengatakan
: “Bahwa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran). “
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah yang memalingkannya.
Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan terjaga dari kontaminankontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan. Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi. (Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73 )
4. Pembagian Ibadah dan dhowabithnya Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
artinya : “Suatu nama yang mencakup apaapa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.
Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS Al-Mulk (67) : 2 ).
Beliau menerangkan bahwa (yang lebih baik amalnya) adalah “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)”. Jadi syarat mutlak dalam ibadah adalah :
1. Ikhlash lillahi Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar (Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain ) maupun syirik akbar (Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
2. Mutaba’ah li Rasulillah dan menjauhkan diri dari bid’ah dan muhdats. Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak).
Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah.
Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah.
Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :
1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.
Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda
“Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.
5. Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.
Sunnah menurut bahasa adalah طريق (jalan/ cara), سبيل (jalan), dan منهج (manhaj/metode).
Adapun menurut istilah adalah
“Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam”.
Sunnah ditinjau dari pemahamannya ada dua, yakni :
1. Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum. Maksudnya adalah jika diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan tidaklah mengapa dan tidak disiksa.
2. Sunnah menurut muhadditsin (ahli hadits), adalah bermakna hadits, sebagaimana definisi sunnah menurut istilah di atas, sehingga ada sunnah yang berhukum wajib dan ada yang sunnah.
Adapun ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunnah, melaksanakannya adalah suatu kewajiban.
2. Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal beliau tidak pernah menuntunkannya, meninggalkannya adalah wajib dan melaksanakannya
adalah bid’ah.
Jadi jelas bahwa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan bid’ah adalah sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk selamalamanya, sebab ia bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat tauhid laailahaillalloh terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yakni nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat terhadap tauhid ibadah lillah. Demikian pula bid’ah dan sunnah, mengetahui bid’ah adalah suatu keniscayaan agar terhindar darinya dan lebih memahamkan akan hakikat sunnah itu sendiri,
sebagaimana ucapan seorang penyair :
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkan keburukan, tetapi untuk menghindarinya dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan keburukan, niscaya ia terjerumus ke dalamnya”
Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya adalah selaras dengan firman Allah :
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah (2) : 256. Kalimat “barang siapa yang ingkar dengan thaghut) menunjukkan nafyu terhadap thaghut dan segala bentuk kesyirikan sedangkan “barangsiapa yang iman kepada Allah) menunjukkan itsbat terhadap Allah sebagai ilah Al-Haq (satu-satunya sesembahan yang benar).
Sebagaimana tauhid tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yakni syirik, dan iman takkan terealisasi kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur. Demikian pula, sunnah takkan jelas dan tanda-tandanya takkan terang, kecuali dengan mengenal lawannya, yaitu bid’ah.
Sungguh indah perkataan Ibnu Qutaibah :
“Hikmah dan qudrah takkan sempurna melainkan dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan, dan rasa manis diketahui dengan adanya rasa pahit.” (Ta’wil Mukhalafil Hadits hal. 14, disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 37-41.)
6. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerusakannya terhadap ummat.
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua (,‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148 ) yakni :
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci).
Contoh : Peringatan Maulid Nabi (Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya ), Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan (Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.) , Demonstrasi (Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain-lain) dan lain-lain.
2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah.
Contoh : Dzikir jama’I (Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam. Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, seperti acara Indonesia berdzikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham –semoga Allah memberi hidayah pada penyusun dan pada beliau- adalah metode ibadah yang bid’ah. Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi, memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi),membasuh kaki. hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at ( Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah ) dan lain-lain.
Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya (memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan beberapa kerusakan sebagai berikut:
1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak
mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkannya.
4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
7. Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha (Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242. ) menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan
Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik” (Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al- Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.) Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An- Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20 )
BID’AH-BID’AH DALAM MAJELIS
Menginjak kesalahan-kesalahan (bid'ah-bid'ah) dalam majelis, di antaranya :
1. Ra'isul majelis (pemimpin majlis) mengajak jama’ah (ahli majelis) membaca atau
mengucapkan basmalah secara bersama-sama, dengan suara yang jahr (keras) dalam rangka membuka majelis. (Bid’ah dari amalan ini adalah dari segi :
• Mengucapkan basmalah secara bersama-sama, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkan mengucapkan basmalah secara jama’i (bersama-sama).
• Mengucapkannya dengan jahr (keras), dimana dhowabithnya jika dilazimkan (disenantiasakan) akan terjerumus kepada sunnah baru (bid’ah).
• Membacanya basmalah adalah masyru’ (disyari'atkan) pada permulaan melakukan sesuatu, namun biasanya, ra'isul majelis membacanya pada pertengahan majelis, ini berarti menyelisihi sunnah.
Ini semua, jika disenantiasakan atau dilakukan terus menerus, maka tak syak lagi termasuk bid’ah Termasuk pula membaca Al- Fatihah pada permulaan majelis sebagai pembuka.
2. Membuka majelis dengan senantiasa melazimkan tilawah Al-Qur’an, yakni dengan cara menyuruh seseorang membaca ayat dari Al-Qur’an.
Bid’ah tilawah ini ditinjau dari segi :
• Menyenantiasakan membaca Al-Qur’an pada pembukaan majelis atau muhadharah (pengajian,ceramah), maka hal ini termasuk
Mengenai hal ini, dalam kitab Al-Bida’ (Al-Bida’ wal Muhdatsat wa ma la ashla lahu hal. 539-540, kitab inimerupakan kitab kumpulan dari fatwa-fatwa Kibaril Ulama’ dan Lajnah Da’imah seputar permasalahan bid’ah.), Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah, ditanya sebagai berikut :
Pertanyaan : Pembukaan muhadharah (ceramah) dan nadwah (pertemuan) dengan membaca sesuatu dari Al-Qur’an, apakah termasuk perkara yang disyari'atkan?
Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang demikian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin, tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut memuqoyyadkan ibadah qiro’ah Al-Qur’an dengan waktu khusus, yakni pada saat akan bermajlis, padahal tak ada satu pun sunnah yang menunjukkan hal demikian. Apalagi jika timbul perasaan ataupun pikiran, jika tidak tilawah, ada yang kurang dalam majelis tersebut , maka ini adalah bid’ah yang nyata.
• Menyuruh seseorang membaca Al-Qur’an, padahal biasanya ra'isul majelis yang membuka majelis telah membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada muqoddimahnya, maka yang demikian pada hakikatnya telah mencukupi.
Terkadang, ayat yang dibaca berlainan dengan bahasan atau tema majelis/muhadhoroh. Misalnya, dalam muhadhoroh yang membahas mengenai pernikahan, dibacakan ayat-ayat tentang qishahs atau jihad. Ini adalah kurang sesuai atau tidak pada tempatnya. mengambil suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari Al- Qur’an yang ada hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya sebagai pembuka, maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan suatu pertemuan atau muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus seolah-olah sunnah yang dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.
Dari penjelasan Syaikh 'Utsaimin rahimahullah tersebut, tampak bahwa :
• Jika sekiranya tilawah Al-Qur’an disenantiasakan secara terus menerus, seakan akan sunnah yang dituntunkan, maka dikhawatirkan terjerumus kepada bid’ah.
• Jika sekiranya dilakukan pada sesekali waktu, dan mengambil tema yang ada hubungannya dengan bahasan, maka yang demikian
• adalah diperbolehkan, selama tidak dilaksanakan terus menerus.
3. Selalu mengucapkan atau memulai dengan salam setiap hendak berbicara dalam majelis, baik saat akan memberikan usulan di tengah-tengah majelis ataupun setiap dimintai pendapat. Yang termasuk sunnah adalah mengucapkan salam setiap akan masuk atau meninggalkan majelis. (Salam adalah termasuk ibadah mutlak, dan untuk memuqoyyadkan dibutuhkan dalil khusus. Adapun selalu mengucapkan salam selama di tengah-tengah majelis adalah termasuk perkara yang tak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah salam setiap hendak meninggalkan majelis ataupun memasukinya)
4. Mengakhiri majelis dengan mengajak jama’ah (ahli majelis) untuk membaca sholawat, hamdalah, istighfar dan kafaratul majelis secara bersama-sama, dengan suara yang jahr dan secara terus menerus.
Yang menjadi titik rawan terjerumusnya kepada bid’ah amalan ini adalah :
• Membacanya dengan bersama-sama/jama’i, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan kaifiyat yang demikian dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
• Membacanya secara jahr, kecuali do’a kafaratul majelis, karena sesungguhnya telah warid hadits tentangnya.
• Mengkhususkan hamdalah, sholawat dan istighfar, dalam menutup suatu majelis, padahal untuk menetapkannya dibutuhkan dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
• Menyenantiasakannya atau melakukannya secara terus menerus (istimrar).
5. Mengakhiri majelis dengan selalu berdo’a, di mana ahli majelis mengamini bacaan do’a ra'isul majelis. Lebih parah lagi jika ra'isul majelis menyebut “Al-Fatihah!!!” pada akhir do’a dengan keras, dan jama’ah membacanya secara bersama-sama, kemudian mengusap wajah dengan telapak tangan.
Berdo’a pada akhir majelis pada asalnya diperbolehkan, karena mengingat bahwa do’a termasuk ibadah mutlak, yang tidak terikat dengan waktu. Namun menyenantiasakannya berarti termasuk memuqoyyadkan waktunya tanpa ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Adapun membaca amin dengan keras dan mengusap wajah serta menyebut Al- Fatihah!!! Adalah termasuk kaifiyat baru yang tak dituntunkan Nabi.
6. dan kesalahan-kesalahan lainnya yang menyelisihi kaidah amaliyyah sehingga termasuk ibadah, dan kesalahan-kesalahan lainnya yang bersifat adab, sebagaimana dalam penjelasan di depan.
Demikianlah risalah ini kami susun, semoga dapat mengambil manfaat orang-orang yang memang bermaksud beristifadah (memetik manfaat) dengan risalah ini. Kesalahan dan kekurangan dari risalah ini berasal dari kelemahan kami dan syaithan yang senantiasa menghembuskan was-was dan kesamar-samaran. Adapun yang haq maka datangnya mutlak dari Allah,
Jika ada di antara ikhwah yang tidak puas dengan materi risalah ini, maka kami siap untuk berdiskusi bukan untuk jidal/debat buta. Sesungguhnya yang kita ikuti dalah hujjah dan dalil, bukanlah individu, sebagai pengejawantahan firman Allah :
artinya : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan bahwa “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu), jika seorang muslim berselisih pendapat dalam suatu hal, ( permasalahan yang diperselisihkan bukan terbatas masalah agama saja, namun masalah umum seluruhnya )maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), dalam bentuk Amr (perintah). Dalam kaidah ushul dikatakan (Hukum asal dari perintah adalah wajib), maka merupakan kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, jika hujjah pada risalah ini lebih kuat maka merupakan kewajiban atas siapa saja untuk menerimanya, namun jika hujjah dalam risalah ini lemah, maka tak ada alasan untuk menerimanya.
Adapun jika antum menolak tentang bahaya bid’ah dan keterangan kami di atas, sembari mengatakan bahwa bid’ah itu adalah masalah furu’ dan khilafiyah, di mana antum berpendapat bahwa bid’ah ada yang hasanah, berarti antum telah :
1. Menganggap agama tidak sempurna sehingga butuh penambahan, revisi dan metode baru dalam berislam.
2. Menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkhianat tidak menyampaikan risalahnya, dan menuduh beliau menyembunyikan sebagian risalah Islam. Padahal Islam telah sempurna ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam surat Al-Maidah ayat 3 pada saat haji wada’
3. Menganggap diri antum lebih ‘alim dari Allah dan Rasul-Nya. Sehingga antum menambahkan sesuatu yang tak pernah diturunkan oleh Allah dan dituntunkan Rasul-Nya, sehingga antum menempatkan diri antum sebagai syari’ (sang pembuat syari'at, Allah) dan bahkan menganggap antum lebih alim dari-Nya.
Sebagaimana ucapan Imam Syafi’i :
“Barangsiapa yang menganggap baik perbuatan bid’ah maka sungguh ia telah menempatkan dirinya sebagai syari’ (pembuat syari'at)”
4. Mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menuduh-Nya berdusta, karena Ia telah berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Al Maidah : 3).
5. Mendustakan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
”jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim) dan yang semakna dengannya.
6. Menuduh sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdusta, karena Abu Dzar Al- Ghifari mengatakan :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan kami dan tak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya.” (Mu’jamul Kabir (1647) dan sanadnya shohih )
7. Memecah belah agama ini menjadi bid'ah-bid'ah, karena hakikat dari bid’ah adalah perpecahan dan hakikat dari sunnah adalah persatuan.
Kami akhiri dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Al Maidah : 115).
Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan kepada sahabatsahabatnya.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
0 komentar: