Senin, 13 Desember 2010

Diriwayatkan dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan meragukan. Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang samar dan meragukan itu maka niscaya akan terpelihara agama dan harga dirinya. Dan barangsiapa yang nekad menerjang hal-hal yang samar dan meragukan itu maka dia terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir saja dia memasukinya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]).

Makna qalb

Dalam bahasa Arab jantung disebut ‘qalb’, terkadang kata ‘qalb’ juga dipakai untuk menyebut akal (lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 2/753). Al-Farra’ -seorang pakar bahasa Arab- mengatakan bahwa makna qalb dalam ayat (yang artinya), “Bagi orang yang memiliki qalb.” (QS. Qaf : 37) ialah akal (kamus Mukhtar Ash-Shihah, alwarraq.com). Dalam terjemah Al-Qur’an ke bahasa Indonesia yang di tas-hih oleh Departemen Agama ‘qalb’ diartikan sebagai ‘hati’ (lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 520. Penerbit Syaamil). Wal hasil, di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa akal itu letaknya di dalam hati.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan (Syarh Muslim, 6/108-109), “Di dalam hadits ini terdapat penegasan agar (manusia) berupaya memperbaiki hati serta menjaganya dari kerusakan. Sekelompok ulama berargumen dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati bukan di kepala (otak), dan dalam hal ini terdapat khilaf yang masyhur. Pendapat para ulama madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan mayoritas mutakallimin menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati.” Pendapat serupa juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan menyebutkan dalil-dalilnya ketika menjelaskan kandungan hadits ini (lihat Fath Al-Bari, 1/158).

Pentingnya memperbaiki hati

Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan pentingnya hati bagi amal perbuatan sebagaimana peranan jantung bagi anggota badan. Jantung memompa darah ke seluruh tubuh sehingga sangat menentukan kesehatan badan, sebagaimana halnya baiknya hati sangat menentukan baiknya amal perbuatan. Maka hadits di atas merupakan rujukan dalam masalah agama dan juga dalam masalah medis/pengobatan (faidah ini kami petik dari rekaman ceramah Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah berjudul Atsarul ‘aqidah ‘alal istiqamah). Ketika mengomentari bagian akhir hadits di atas, Ibnu Rajab ¬rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik hamba dengan anggota badannya, kemampuannya menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan keteguhannya dalam menjaga diri dari hal-hal yang syubhat/samar bergantung pada kebaikan gerak-gerik hatinya…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Makt. Syamilah).

Hati yang hidup, mati, dan sakit

Untuk memperjelas hal ini, marilah kita simak penuturan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berikut ini. Beliau mengatakan (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275), “Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (non-fisik) yang paling agung di dalam tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya, “Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia, dengan orang yang senasib dengannya namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (QS. Al-An’aam : 122). Maksudnya orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman.”
Beliau melanjutkan, “Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya. Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma’ruf dan mungkar.” Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu -karena kelemahannya- akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya bergantung pada kuat-lemahnya penyakit tersebut.” (hal. 275)

Dua macam penyakit hati

Kemudian Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah memaparkan, “Penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan : penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir). Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir. Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah namun orangnya tidak menyadari hal itu. Hal itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakikat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjagaya. Bahkan terkadang hati seseorang mati namun dia tidak menyadari kematiannya. Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan buruk/maksiat tidak bisa lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidak mengertiannya mengenai aqidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya. Sebab apabila hati masih hidup tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair), “Luka yang bersarang di tubuh mayit, tentu tidak lagi menyakitinya.”.” (hal. 275)

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)

Berjuang melawan penyakit

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan dalam Syarahnya, “Terkadang orang merasakan penyakit yang bersarang di dalam hatinya, namun dia mau menahan rasa pahit yang sangat karena menelan obat dan berusaha tetap sabar untuk menyembuhkan dirinya. Maka dia lebih menyukai merasa sakit karena proses pengobatan yang harus dijalaninya begitu susah (daripada membiarkan penyakitnya terus menjalar). Sesungguhnya obat untuk penyakit hati adalah dengan berjuang menyelisihi hawa nafsu. Padahal perkara itu -menyelisihi nafsu- adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat bagi jiwa manusia. Namun, memang tidak ada obat lain yang lebih manjur daripada obat itu. Terkadang, ketika berusaha untuk melatih jiwanya untuk sabar kemudian ternyata tekadnya memudar di tengah jalan sehingga hal itu membuatnya tidak mau lagi bertahan; karena begitu lemah ilmu, keyakinan, dan kesabaran dirinya. Hal itu sebagaimana halnya orang yang berusaha menempuh suatu jalan menuju daerah yang aman namun jalan itu diliputi dengan hal-hal yang menakutkan. Padahal si penempuh jalan itu pun menyadari bahwa apabila dia mau bersabar niscaya rasa takut itu akan lenyap dan berakhir dengan rasa aman. Untuk itulah dia memerlukan kekuatan sabar dan keyakinan yang kokoh terhadap tujuan yang akan dicapai. Kapan saja sabar dan keyakinannya melemah, maka dia akan berputar haluan meninggalkan jalan itu dan tidak mau repot-repot merasakan beratnya kesulitan yang ada di sana. Apalagi jika tidak ada teman (baik) yang menyertainya sehingga dia merasa gentar berjalan sendirian (di atas kebenaran), maka dia pun mengeluh, “Di manakah orang-orang (baik) itu, di saat aku membutuhkan mereka; sehingga aku bisa meniru mereka!”. Inilah keadaan yang menimpa kebanyakan orang, dan itulah penyebab kehancuran mereka. Sesungguhnya orang yang benar-benar sabar dan tulus tidak akan merasa gentar hanya karena sedikitnya teman ataupun karena kehilangan kawan; hal ini akan bisa dia rasakan ketika hatinya senantiasa merasakan kebersamaan (persahabatan) dengan generasi yang pertama, yaitu (sebagaimana makna firman Allah), “Orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisaa’ : 69)….” (hal. 275)
Beliau kembali menuturkan, “Tanda sakitnya hati adalah ketika dia berpaling dari mengkonsumsi asupan gizi yang bermanfaat dan cocok (bagi kesehatan hatinya) menuju asupan-asupan yang berbahaya, serta ketika dia berpaling meninggalkan obat yang manjur kepada obat yang membahayakannya. Maka di sini ada empat perkara : [1] asupan yang bermanfaat, [2] obat yang menyembuhkan, [3] asupan yang membahayakan, dan [4] obat yang membinasakan. Hati yang sehat akan memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya dan menyakiti. Sedangkan hati yang sakit justru sebaliknya. Asupan paling bermanfaat adalah asupan iman, sedangkan obat paling bermanfaat adalah obat Al-Qur’an, dan masing-masing dari keduanya (iman dan Al-Qur’an) juga menyimpan asupan sekaligus obat. Sehingga orang yang menginginkan kesembuhan dengan selain (bimbingan) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia tergolong ajhalul jaahiliin (orang yang paling bodoh) dan termasuk deretan adhalludh dhaalliin (orang yang paling sesat)…” (hal. 276).

Menimba ilmu, jalan untuk mendapatkan obat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menuntut ilmu termasuk amal kebaikan yang paling utama, sedangkan kebaikan-kebaikan itu akan melenyapkan kejelekan. Maka sangat layak jika menuntut ilmu karena mengharapkan wajah Allah menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa yang telah lalu. Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengikuti kejelekan dengan kebaikan akan dapat menghapuskan kejelekan. Lantas bagaimanakah lagi dengan suatu amal yang tergolong kebaikan paling utama dan ketaatan yang paling mulia! Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, beliau pernah berkata, “Sesungguhnya ada seorang yang keluar dari rumahnya sedangkan dia menanggung dosa yang banyak sebagaimana bukit Tihamah, tatkala dia mendengar ilmu (disampaikan) maka dia pun merasa takut, kembali (taat) dan bertaubat. Maka pulanglah dia ke rumahnya dalam keadaan bersih dari dosa. Oleh sebab itu janganlah kalian memisahkan diri dari majelis para ulama.” (Al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 80).

Rabu, 28 Juli 2010

ADAB BERMAJELIS DAN BID'AH-BID'AHNYA


“Ilmu sebelum berkata dan beramal”.

Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis (Disarikan dari Minhajul Muslim karya Syaikh Abu Bakar Al-Jaza'iri, hal. 139- 141, Fashlu Tsamin (Bab VIII), fi Adabi Al-Julusi wa Al-Majlisi (Adab dalam bermajlis).

1. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam.

2. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :

“Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu memperluasnya.” (Muttafaq ‘alaihi).

3. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

“Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

4. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

5. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.” (Abu Dawud)( Hadits dho’if dalam Dho’if Abu Dawud. Walaupun dha’if dan tak dapat digunakan sebagai hujjah, namun hendaklah kita menghindarkan diri dari duduk di tengah halaqoh, sebagai sikap berjaga-jaga dan berhati-hati.)


6. Seseorang di dalam majelis hendaknya memperhatikan adab-adab sebagai berikut :
• Duduk dengan tenang dan sopan, tidak banyak bergerak dan duduk pada tempatnya.
• Tidak menganyam jari, mempermainkan jenggot atau cincinnya, banyak menguap.
• memasukkan tangan ke hidung, dan sikapsikap lainnya yang menunjukkan ketidakhormatan kepada majelis.
• Tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia.
• Tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.
• Mendengarkan orang lain berbicara hingga selesai dan tidak memotong pembicaraannya.
• Bicara yang perlu dan penting saja, tanpa perlu berputar-putar dan berbasa-basi ke sana ke mari.
• Tidak berbicara dengan meremehkan dan tidak menghormati ahli majelis lain, tidak merasa paling benar (ujub) dan sombong ketika berbicara.
• Menjawab salam ketika seseorang masuk ke majelis atau meninggalkan majelis.
• Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).

7. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah sebagaimana lafadhnya dalam muqoddimah di awal risalah ini, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam senantiasa membacanya setiap akan khuthbah, ceramah, baik pada pernikahan, muhadharah (ceramah) ataupun pertemuan, dan sunnah inipun dilanjutkan oleh sahabat-sahabat lainnya dan para as-Salaf Ash-sholeh ( Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal 144-145 )

8. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :

Artinya : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang haq disembah melainkan diri- Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Turmudzi, Shahih). Diriwayatkan pula oleh Turmudzi, ketika Nabi ditanya tentang do’a tersebut, beliau menjawab, untuk melunturkan dosa selama di majelis.
.
KAIDAH MA’RIFATIL BIDA’

Sebelum menyebutkan kesalahan-kesalahan tersebut, ada baiknya kita fahami dulu Kaidah Ma’rifatil Bida’ (Kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui suatu amal tergolong bid’ah) sebagai dasar berpijak, agar tak menimbulkan bias dan mispersepsi.

1. Ta’rif (Definisi) Bid’ah.

a.) Bid’ah menurut bahasa/etimologi bermakna إختراع (ikhtira’) yaitu sesuatu yang
diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, misalnya perkataan orang Arab :

(artinya: Allah telah mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya, atau disingkat Allah telah menciptakan makhluk). Atau sebagaimana pula dalam firman Allah :

artinya : Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya (Al-Baqarah : 117).

b.) Bid’ah menurut istilah/terminology adalah :

artinya : “Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk melebihkan dalam beribadah kepada Allah” (Al-I’tisham I/37 ).

Hal ini mengacu kepada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:

artinya : “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

artinya : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak. (HR Muslim)

2. Dalil haramnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. (Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 91-105)

• Dalil dari Al-Qur’an :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-An'am (6) : 153 )

Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky (Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya ) , menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.

• Dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam

Dari Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari perkara ini (agama) maka ia tertolak.” (HR Muslim)

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam

: "Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenarbenar kalam adalah Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang mengada-ada (muhdats) dan tiaptiap muhdats itu Bid’ah dan tiap kebid’ahan itu neraka tempatnya." (Muttafaq ‘alaihi)

Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.”(HR Muslim)

Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat).

Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya استثناء istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.

Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam I’tisham (Al-I’tisham (I/49)), menyatakan secara tegas bantahan terhadap orang-orang yang menyatakan keberadaan bid’ah hasanah, beliau rahimahullah berkata :
.
“Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengkhianati risalahnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu (ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini.” (‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20)

3. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.

Tauqifiyyah maksudnya adalah (Tidaklah ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al- Qur’an dan As-Sunnah) (Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al- Ubudiyah (Ubudiyah, hal. 127 ) menjelaskan tentang dua pondasi dasar dalam ibadah, yakni :

1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash)
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334 ) berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258), mengatakan

: “Bahwa di dalam masalah ibadah hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran). “

Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi :

“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah yang memalingkannya.

Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan terjaga dari kontaminankontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan. Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita tambahkan dan kita kurangi. (Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73 )

4. Pembagian Ibadah dan dhowabithnya Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :

artinya : “Suatu nama yang mencakup apaapa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.

Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS Al-Mulk (67) : 2 ).

Beliau menerangkan bahwa (yang lebih baik amalnya) adalah “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)”. Jadi syarat mutlak dalam ibadah adalah :

1. Ikhlash lillahi Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar (Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain ) maupun syirik akbar (Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.


2. Mutaba’ah li Rasulillah dan menjauhkan diri dari bid’ah dan muhdats. Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:

1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak).

Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi bid’ah.

2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah.

Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.

3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk bid’ah.

Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata.

4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.

5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan.

6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.

Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :

1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.

Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda

“Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.

2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.

5. Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.

Sunnah menurut bahasa adalah طريق (jalan/ cara), سبيل (jalan), dan منهج (manhaj/metode).

Adapun menurut istilah adalah

“Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam”.

Sunnah ditinjau dari pemahamannya ada dua, yakni :

1. Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum. Maksudnya adalah jika diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan tidaklah mengapa dan tidak disiksa.

2. Sunnah menurut muhadditsin (ahli hadits), adalah bermakna hadits, sebagaimana definisi sunnah menurut istilah di atas, sehingga ada sunnah yang berhukum wajib dan ada yang sunnah.

Adapun ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunnah, melaksanakannya adalah suatu kewajiban.

2. Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal beliau tidak pernah menuntunkannya, meninggalkannya adalah wajib dan melaksanakannya
adalah bid’ah.

Jadi jelas bahwa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan bid’ah adalah sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk selamalamanya, sebab ia bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat tauhid laailahaillalloh terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yakni nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat terhadap tauhid ibadah lillah. Demikian pula bid’ah dan sunnah, mengetahui bid’ah adalah suatu keniscayaan agar terhindar darinya dan lebih memahamkan akan hakikat sunnah itu sendiri,

sebagaimana ucapan seorang penyair :

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkan keburukan, tetapi untuk menghindarinya dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan keburukan, niscaya ia terjerumus ke dalamnya”

Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya adalah selaras dengan firman Allah :

“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah (2) : 256. Kalimat “barang siapa yang ingkar dengan thaghut) menunjukkan nafyu terhadap thaghut dan segala bentuk kesyirikan sedangkan “barangsiapa yang iman kepada Allah) menunjukkan itsbat terhadap Allah sebagai ilah Al-Haq (satu-satunya sesembahan yang benar).

Sebagaimana tauhid tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yakni syirik, dan iman takkan terealisasi kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur. Demikian pula, sunnah takkan jelas dan tanda-tandanya takkan terang, kecuali dengan mengenal lawannya, yaitu bid’ah.

Sungguh indah perkataan Ibnu Qutaibah :

“Hikmah dan qudrah takkan sempurna melainkan dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dari pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan, dan rasa manis diketahui dengan adanya rasa pahit.” (Ta’wil Mukhalafil Hadits hal. 14, disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 37-41.)


6. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerusakannya terhadap ummat.

Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua (,‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148 ) yakni :

1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil (terperinci).

Contoh : Peringatan Maulid Nabi (Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula bantahan para ulama’baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era bani Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya ), Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahlilan (Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan syirik dan khurafat bid’ah, peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.) , Demonstrasi (Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain-lain) dan lain-lain.

2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari Rasulullah.

Contoh : Dzikir jama’I (Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah. Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam. Hal ini menunjukan bahwa metode da’wah ala dzikir jama’i, seperti acara Indonesia berdzikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham –semoga Allah memberi hidayah pada penyusun dan pada beliau- adalah metode ibadah yang bid’ah. Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi, memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai bid’ah idhafi),membasuh kaki. hingga lutut ketika berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at ( Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, namun yang menjadi permasalahan adalah jika kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan bid’ah ) dan lain-lain.

Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya (memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan beberapa kerusakan sebagai berikut:

1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang benar atau baik.

2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan yang salah.

3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak
mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena mereka menganggap ini sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkannya.

4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.

5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.

7. Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah

Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha (Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242. ) menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :

1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.

2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau tidak menuntunkannya.

3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.

4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.

5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.

6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’

7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.

8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan

Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa

“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan, pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.

Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :

“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik” (Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al- Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.) Maka janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :

“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An- Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20 )


BID’AH-BID’AH DALAM MAJELIS

Menginjak kesalahan-kesalahan (bid'ah-bid'ah) dalam majelis, di antaranya :

1. Ra'isul majelis (pemimpin majlis) mengajak jama’ah (ahli majelis) membaca atau
mengucapkan basmalah secara bersama-sama, dengan suara yang jahr (keras) dalam rangka membuka majelis. (Bid’ah dari amalan ini adalah dari segi :
• Mengucapkan basmalah secara bersama-sama, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tak pernah menuntunkan mengucapkan basmalah secara jama’i (bersama-sama).
• Mengucapkannya dengan jahr (keras), dimana dhowabithnya jika dilazimkan (disenantiasakan) akan terjerumus kepada sunnah baru (bid’ah).
• Membacanya basmalah adalah masyru’ (disyari'atkan) pada permulaan melakukan sesuatu, namun biasanya, ra'isul majelis membacanya pada pertengahan majelis, ini berarti menyelisihi sunnah.

Ini semua, jika disenantiasakan atau dilakukan terus menerus, maka tak syak lagi termasuk bid’ah Termasuk pula membaca Al- Fatihah pada permulaan majelis sebagai pembuka.

2. Membuka majelis dengan senantiasa melazimkan tilawah Al-Qur’an, yakni dengan cara menyuruh seseorang membaca ayat dari Al-Qur’an.

Bid’ah tilawah ini ditinjau dari segi :
• Menyenantiasakan membaca Al-Qur’an pada pembukaan majelis atau muhadharah (pengajian,ceramah), maka hal ini termasuk

Mengenai hal ini, dalam kitab Al-Bida’ (Al-Bida’ wal Muhdatsat wa ma la ashla lahu hal. 539-540, kitab inimerupakan kitab kumpulan dari fatwa-fatwa Kibaril Ulama’ dan Lajnah Da’imah seputar permasalahan bid’ah.), Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah, ditanya sebagai berikut :

Pertanyaan : Pembukaan muhadharah (ceramah) dan nadwah (pertemuan) dengan membaca sesuatu dari Al-Qur’an, apakah termasuk perkara yang disyari'atkan?

Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang demikian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin, tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut memuqoyyadkan ibadah qiro’ah Al-Qur’an dengan waktu khusus, yakni pada saat akan bermajlis, padahal tak ada satu pun sunnah yang menunjukkan hal demikian. Apalagi jika timbul perasaan ataupun pikiran, jika tidak tilawah, ada yang kurang dalam majelis tersebut , maka ini adalah bid’ah yang nyata.

• Menyuruh seseorang membaca Al-Qur’an, padahal biasanya ra'isul majelis yang membuka majelis telah membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada muqoddimahnya, maka yang demikian pada hakikatnya telah mencukupi.
Terkadang, ayat yang dibaca berlainan dengan bahasan atau tema majelis/muhadhoroh. Misalnya, dalam muhadhoroh yang membahas mengenai pernikahan, dibacakan ayat-ayat tentang qishahs atau jihad. Ini adalah kurang sesuai atau tidak pada tempatnya. mengambil suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari Al- Qur’an yang ada hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya sebagai pembuka, maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan suatu pertemuan atau muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus seolah-olah sunnah yang dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.

Dari penjelasan Syaikh 'Utsaimin rahimahullah tersebut, tampak bahwa :
• Jika sekiranya tilawah Al-Qur’an disenantiasakan secara terus menerus, seakan akan sunnah yang dituntunkan, maka dikhawatirkan terjerumus kepada bid’ah.
• Jika sekiranya dilakukan pada sesekali waktu, dan mengambil tema yang ada hubungannya dengan bahasan, maka yang demikian

• adalah diperbolehkan, selama tidak dilaksanakan terus menerus.

3. Selalu mengucapkan atau memulai dengan salam setiap hendak berbicara dalam majelis, baik saat akan memberikan usulan di tengah-tengah majelis ataupun setiap dimintai pendapat. Yang termasuk sunnah adalah mengucapkan salam setiap akan masuk atau meninggalkan majelis. (Salam adalah termasuk ibadah mutlak, dan untuk memuqoyyadkan dibutuhkan dalil khusus. Adapun selalu mengucapkan salam selama di tengah-tengah majelis adalah termasuk perkara yang tak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena dalil yang warid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah salam setiap hendak meninggalkan majelis ataupun memasukinya)

4. Mengakhiri majelis dengan mengajak jama’ah (ahli majelis) untuk membaca sholawat, hamdalah, istighfar dan kafaratul majelis secara bersama-sama, dengan suara yang jahr dan secara terus menerus.

Yang menjadi titik rawan terjerumusnya kepada bid’ah amalan ini adalah :
• Membacanya dengan bersama-sama/jama’i, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan kaifiyat yang demikian dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
• Membacanya secara jahr, kecuali do’a kafaratul majelis, karena sesungguhnya telah warid hadits tentangnya.
• Mengkhususkan hamdalah, sholawat dan istighfar, dalam menutup suatu majelis, padahal untuk menetapkannya dibutuhkan dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
• Menyenantiasakannya atau melakukannya secara terus menerus (istimrar).

5. Mengakhiri majelis dengan selalu berdo’a, di mana ahli majelis mengamini bacaan do’a ra'isul majelis. Lebih parah lagi jika ra'isul majelis menyebut “Al-Fatihah!!!” pada akhir do’a dengan keras, dan jama’ah membacanya secara bersama-sama, kemudian mengusap wajah dengan telapak tangan.

Berdo’a pada akhir majelis pada asalnya diperbolehkan, karena mengingat bahwa do’a termasuk ibadah mutlak, yang tidak terikat dengan waktu. Namun menyenantiasakannya berarti termasuk memuqoyyadkan waktunya tanpa ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Adapun membaca amin dengan keras dan mengusap wajah serta menyebut Al- Fatihah!!! Adalah termasuk kaifiyat baru yang tak dituntunkan Nabi.

6. dan kesalahan-kesalahan lainnya yang menyelisihi kaidah amaliyyah sehingga termasuk ibadah, dan kesalahan-kesalahan lainnya yang bersifat adab, sebagaimana dalam penjelasan di depan.

Demikianlah risalah ini kami susun, semoga dapat mengambil manfaat orang-orang yang memang bermaksud beristifadah (memetik manfaat) dengan risalah ini. Kesalahan dan kekurangan dari risalah ini berasal dari kelemahan kami dan syaithan yang senantiasa menghembuskan was-was dan kesamar-samaran. Adapun yang haq maka datangnya mutlak dari Allah,

Jika ada di antara ikhwah yang tidak puas dengan materi risalah ini, maka kami siap untuk berdiskusi bukan untuk jidal/debat buta. Sesungguhnya yang kita ikuti dalah hujjah dan dalil, bukanlah individu, sebagai pengejawantahan firman Allah :

artinya : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menjelaskan bahwa “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu), jika seorang muslim berselisih pendapat dalam suatu hal, ( permasalahan yang diperselisihkan bukan terbatas masalah agama saja, namun masalah umum seluruhnya )maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), dalam bentuk Amr (perintah). Dalam kaidah ushul dikatakan (Hukum asal dari perintah adalah wajib), maka merupakan kewajiban mengembalikan segala perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, jika hujjah pada risalah ini lebih kuat maka merupakan kewajiban atas siapa saja untuk menerimanya, namun jika hujjah dalam risalah ini lemah, maka tak ada alasan untuk menerimanya.

Adapun jika antum menolak tentang bahaya bid’ah dan keterangan kami di atas, sembari mengatakan bahwa bid’ah itu adalah masalah furu’ dan khilafiyah, di mana antum berpendapat bahwa bid’ah ada yang hasanah, berarti antum telah :

1. Menganggap agama tidak sempurna sehingga butuh penambahan, revisi dan metode baru dalam berislam.

2. Menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkhianat tidak menyampaikan risalahnya, dan menuduh beliau menyembunyikan sebagian risalah Islam. Padahal Islam telah sempurna ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam surat Al-Maidah ayat 3 pada saat haji wada’

3. Menganggap diri antum lebih ‘alim dari Allah dan Rasul-Nya. Sehingga antum menambahkan sesuatu yang tak pernah diturunkan oleh Allah dan dituntunkan Rasul-Nya, sehingga antum menempatkan diri antum sebagai syari’ (sang pembuat syari'at, Allah) dan bahkan menganggap antum lebih alim dari-Nya.

Sebagaimana ucapan Imam Syafi’i :

“Barangsiapa yang menganggap baik perbuatan bid’ah maka sungguh ia telah menempatkan dirinya sebagai syari’ (pembuat syari'at)”

4. Mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menuduh-Nya berdusta, karena Ia telah berfirman :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Al Maidah : 3).

5. Mendustakan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

”jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim) dan yang semakna dengannya.

6. Menuduh sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdusta, karena Abu Dzar Al- Ghifari mengatakan :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan kami dan tak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya.” (Mu’jamul Kabir (1647) dan sanadnya shohih )

7. Memecah belah agama ini menjadi bid'ah-bid'ah, karena hakikat dari bid’ah adalah perpecahan dan hakikat dari sunnah adalah persatuan.

Kami akhiri dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Al Maidah : 115).

Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan kepada sahabatsahabatnya.



http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari

Selasa, 20 Juli 2010

TUNTUNAN DAN ADAB MEMBERI NAMA ANAK


Disusun Oleh Abu Amina Al Anshariy El Jawiy
Disebarkan Pada Maktabah Ma’had Anshorulloh As –Salafiy
http://abuamincepu.wordpress.com/ Atau http://anshorulloh.wordpress.com/

Pentingnya Pemberian Nama

Nama adalah ciri atau tanda, maksudnya adalah orang yang diberi nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Dalam Al-Qur’anul Kariim disebutkan;
ُِ
Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).

Dan hakikat pemberian nama kepada anak adalah agar ia dikenal serta memuliakannya. Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama kapada anak laki-laki dan perempuan 1). Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan menjadi seorang yang majhul (=tidak dikenal) oleh masyarakat.

Waktu Pemberian Nama

Telah datang sunnah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu pemberian nama yaitu:
a) Memberikan nama kepada anak pada saat ia lahir.
b) Memberikan nama kepada anak pada hari ketiga setelah ia lahir.
c) Memberikan nama kepada anak pada hari ketujuh setelah ia lahir.

Pemberian Nama Kepada Anak Adalah Hak (Kewajiban) Bapak.

Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya seorang bapak lebih berhak dalam memberikan nama kepada anaknya dan bukan kepada ibunya. Hal ini sebagaimana telah tsabit (=tetap) dari para sahabat radhiallahu ‘anhum bahwa apabila mereka mendapatkan anak maka mereka pergi kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan bapak lebih tinggi daripada ibu.

Nasab Anak Kepada Bapak Bukan Kepada Ibu

Sebagaimana hak memberikan nama kepada anak, maka seorang anakpun bernasab kepada bapaknya bukan kepada ibunya, oleh sebab itu seorang anak akan dipanggil: Fulan bin Fulan, bukan Fulan bin Fulanah.
Allah Ta’ala berfirman:

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5)

Oleh karena itu manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka: Fulan bin fulan. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam 2).

Memilih Nama Terbaik Untuk Anak

Kewajiban bagi seorang bapak adalah memilih nama terbaik bagi anaknya, baik dari sisi lafadz dan maknanya, sesuai dengan syar’iy dan lisan arab. Kadangkala pemberian nama kepada seorang anak baik adab dan diterima oleh telinga/pendangaran akan tetapi nama tersebut tidak sesuai dengan syari’at.

Tata Tertib Pemberian Nama Seorang Anak

1. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Dua Suku Kata, misal Abdullah, Abdurrahman. Kedua nama ini sangat disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana diterangkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dll. Kedua nama ini menunjukkan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan nama kepada anak pamannya (Abbas radhiallahu ‘anhu), Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum terdapat 300 orang yang kesemuanya memiliki nama Abdullah. 

Dan nama anak dari kalangan Anshor yang pertama kali setelah hijrah ke Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma.

2. Disukai Memberikan Nama Seorang Anak Dengan Nama-nama Penghambaan Kepada Allah Dengan Nama-nama-Nya Yang Indah (Asma’ul Husna), misal: Abdul Aziz, Abdul Ghoniy dll. Dan orang yang pertama yang menamai anaknya dengan nama yang demikian adalah sahabat Ibn Marwan bin Al-Hakim.

Sesungguhnya orang-orang Syi’ah tidak memberikan nama kepada anak-anak mereka seperti hal ini, mereka mengharamkan diri mereka sendiri memberikan nama anak mereka dengan Abdurrahman sebab orang yang telah membunuh ‘Ali bin Abi Tholib adalah Abdurrahman bin Muljam.

3. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Para Nabi. 

Para ulama sepakat akan diperbolehkannya memberikan nama dengan nama para nabi3). Diriwayatkan dari Yusuf bin Abdis Salam, ia berkata:”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepadaku Yusuf” (HR. Bukhori –dalam Adabul Mufrod-; At-Tirmidzi –
dalam Asy-Syama’il-). Berkata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy: Sanadnya Shohih.

Dan seutama-utamanya nama para nabi adalah nama nabi dan rasul kita Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya penggabungan dua nama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama kunyahnya, Muhammad Abul Qasim.

Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah:”Dan yang benar adalah pemberian nama dengan namanya (yakni Muhammad, pent) adalah boleh. Sedangkan berkunyah dengan kunyahnya adalah dilarang dan pelarangan menggunakan kunyahnya pada saat beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup lebih keras dan penggabungan antara nama dan kunyah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam juga terlarang”4).

4. Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Orang Sholih Dari Kalangan Kaum Muslimin.

Telah tsabit dari hadits Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda:

“Sesungguhnya mereka memberikan nama (pada anak-anak mereka) dengan nama-nama para nabi dan orang-orang sholih” (HR. Muslim).

Kemudian para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulunya orang-orang sholih bagi umat ini dan demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.

Para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa hal ini adalah baik, oleh karena itu sahabat Zubair bin ‘Awan radhiallahu ‘anhu memberikan nama kepada anakanaknya –jumlah anaknya 9 orang- dengan nama-nama sahabat yang syahid pada waktu perang Badr, missal: Abdullah,’Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Kholid, ‘Umar, dan Mundzir.

Syarat-syarat Dalam Pemberian Nama

a. Nama tersebut menggunakan bahasa arab.
b. Nama tersebut dibangun dengan makna yang baik secara bahasa dan syari’at. Oleh  karenanya dengan adanya syarat ini tidak boleh menggunakan nama-nama yang haram atau makruh baik dalam segi lafadz ataupun maknanya. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek menjadi nama-nama yang baik dari segi lafadz dan maknanya.

Nama-nama yang Diharamkan

a. Kaum muslimin telah bersepakat terhadap haramnya penggunaan nama-nama penghambaan kepada selain Allah Ta’ala baik dari matahari, patung-patung, manusia atau selainnya, missal: Abdur Rasul (=hambanya Rasul), Abdun Nabi (=hambanya Nabi) dll.

Sedangkan selain nama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, misal: Abdul ‘Izza (=hambanya Al- ‘Izza (nama patung/berhala), Abdul Ka’bah (=hambanya Ka’bah), Abdus Syamsu (=hmabanya Matahari) dll.

b. Memberi nama dengan nama-nama Allah Tabaroka wa Ta’ala, misal: Rahim, Rahman, Kholiq dll.

c. Memberi nama dengan nama-nama asing atau nama-nama orang kafir.

d. Memberi nama dengan nama-nama patung/berhala atau sesembahan selain Allah Ta’ala, misal: Al-Lat, Al-‘Uzza dll.

e. Memberi nama dengan nama-nama asing baik yang berasal dari Turki, Faris, Barbar Dll

f. Setiap nama yang memuji (tazkiyyah) terhadap diri sendiri atau berisi kedustaan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;


“Sesungguhnya nama yang paling dibenci oleh Allah adalah seseorang yang bernama Malakul Amlak (=rajanya diraja)” (HR. Bukhori; Muslim).

g. Memberi nama dengan nama-nama Syaithon, misal: Al-Ajda’ dll.
Nama-nama Yang Dimakruhkan

a. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama orang fasiq, penzina dll.
b. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama perbuatan-perbuatan jelek atau perbuatan-perbuatan maksiat.
c. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama para pengikut Fir’un, misal: Fir’un, Qarun, Haman.
d. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama hewan yang telah dikenal akan sifat-sifat jeleknya, misal: Anjing, keledai dll.
e. Dimakruhkan memberi nama anak dengan Ism, mashdar, atau sifat-sifat yang menyerupai terhadap lafzdz “agama” ( A ا) , dan lafadz “Islam” ( م< H ا), misal: Nurruddin, Dliyauddin, Saiful Islam dll.
f. Dimakruhkan memberi nama ganda5), misal: Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id dll.
g. Para ulama memakruhkan memberi nama dengan nama-nama surat dalam Al-Qur’an, misal: Thoha, Yasin dll.

Jalan Keluar Dari Pemberian Nama-nama Yang Diharamkan Dan Yang Dimakruhkan 

Jalan keluar dari kedua hal ini adalah merubah nama-nama tersebut dengan nama-nama yang disukai (mustahab) atau yang diperbolehkan secara syar’i. Dan untuk merubah nama ini kita dapat mendatangi kementrian/depertemen yang mengurusi masalah ini.6)

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang mengandung makna kesyirikan kepada Allah kepada nama-nama Islamiy, dari nama-nama kufur kepada nama-nama imaniyah.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhaiallahu ‘anha, ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek menjadi nama-nama yang baik” (HR. AT-Tirmidzi).

Demikianlah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek dengan namanama yang baik, seperti beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama Syihab menjadi Hisyam dll. Demikian juga kita mesti merubah nama-nama yang buruk menjadi nama-nama yang baik, misal: Abdun Nabi menjadi Abdul Ghoniy, Abdur Rasul menjadi Abdul Ghofur, Abdul Husain menjadi Abdurrahman dll.

Maraji’:
1.Tasmiyah Al-Maulud, karya: Asy-Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid
2) Lihat Syarh Shahih Muslim 8/437. Imam An-Nawawi rahimahullah; Marotib Al-Ijma’,
hal: 154-155.
3) Zaadul Ma’ad, 2/347. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah.

Nama Anak-Anak Putri

1. Atiah : yang datang
2. Azifah : yang mendekat ; nama lain dari hari Kiamat
3. Asiah : nama isteri Fir’aun yang beriman kepada Allah; ahli
dalam pengobatan
4. Aminah : Nama ibu Rasulullah; yang aman
5. Abiyyah : yang menolak kehinaan; punya kepribadian yang
kokoh
6. Atsilah : yang berakar; mempunyai keturunan yang baik
7. Ahlam : jamak dari hulm ; mimpi
8. Adibah : sastrawati
9. Arja : lebih diharapkan
10. Aribah : yang berakal; pandai
11. Aridhah : yang bersih, terang ; mengesankan
12. Arij : bau yang sedap
13. Arikah : permadani yang dihias
14. Azka : lebih suci, bersih
15. Azaliyyah : yang bersifat azaly, dari sejak dulu
16. Asma’ : jamak dari ism ; nama
17. Asma : lebih mulia, tinggi
18. Asywaq : jamak dari syauq ; kerinduan
19. Ashilah : yang asli, orisinil
20. Adhwa’ : jamak dari dha-u’ ; cahaya
21. Agharid : jamak dari ughrudah : kicauan burung
22. Afanin : daun yang lembut; jenis perkataan yang khas
23. Afrah : jamak dari farhah : kegembiraan; pesta
24. Afkar : jamak dari fikr : pemikiran
25. Afnan : Cabang pohon
26. Alfiyyah : dinisbatkan kepada kata alf : ribuan
27. Althaf : taufik, lembut
28. Amany : _ jamak dari umniyah : cita-cita
29. Amjad : Maruwah; kedermawanan; keagungan
30. Amirah : pemimpin
31. Anisah : yang lembut; jinak
32. Aniqah : indah menawan
33. Ibtisamah : senyuman
34. Ibtihaj : keceriaan, kegembiraan
35. Ibtihal : memohon/berdoa (kepada Allah)
36. Ihtisyam : malu
37. Ihtifa’ : sambutan penu
38. Ihtima’ : berlindung, bertahan
39. Ihtiwa’ : mencakup, mengandung (sesuatu)
40. Irtiqa’ : meningkat
41. Irtiyah : puas, senang
42. Izdihar : maju, berkembang
43. Istifadah : mengambil faedah, memanfaatkan
44. Isytihar : terkenal, masyhur
45. Iftikhar : bangga
46. Imtitsal : menjalankan perintah
47. Imtidah : memuji
48. Imtinan : Rasa syukur dan penghargaan; menyebut
keutamaan diri
49. Intishar : kemenangan
50. Intima’ : berafiliasi (kepada)
51. In’am : penganugerahan
52. Inas : penjinakan; melembutkan hati; Yakin
53. Umamah : nama anak tiri Rasulullah (anak Ummu Salamah);
onta yang berjumlah tiga ratus
54. Umaimah : Diminutif (tashgir) dari kata Umm (ibu)

55. Unsyudah : syair yang dilantunkan.


1. Bahitsah :Yang mencari; mengkaji/meneliti
2. Badirah : Yang bersegera
3. Badiyah : yang tampak; perkampungan di pelosok
4. Bazilah : yang membanting tulang, berupaya keras
5. Barrah : yang berbakti (kepada kedua orangtuanya, dll);
yang berbuat baik
6. Bari’ah : yang menonjol, unggul, cemerlang
7. Bariqah : yang berkilau; awan yang berkilat
8. Bazigha : yang muncul
9. Basilah : yang berani
10. Basimah : yang tersenyum
11. Balighah : yang sudah mencapai usia baligh
12. Bahirah : Yang bercahaya
13. Bahiyah : wajah yang ceria
14. Bahriyyah : yang dinisbatkan kepada bahr : laut
15. Badriyyah : yang dinisbatkan kepada badr : bulan purnama
16. Badi’ah : yang cantik, indah
17. Badilah : pengganti
18. Badinah : yang gemuk
19. Bari`ah : yang selamat, terbebas dari ikatan, polos tidak
berdosa
20. Barokah :keberkahan; pertumbuhan; pertambahan
21. Basmah : senyuman
22. Basyirah : yang menyampaikan kabar gembira
23. Balqis : nama Ratu negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman
'alaihissalaam
24. Balighah : yang fashih, amat sangat mengena
25. Bahjah : kegembiraan, keceriaan
26. Bahirah : wanita yang terhormat
27. Bahiyyah : yang cantik; bersinar; berkilau
28. Baydla` : yang putih
29. Butsainah : (diminutif dari Batsnah) ; wanita yang cantik
30. Buraidah : (diminutif dari bard); dingin ; nama sebuah
tempat/propinsi di Arab Saudi


1. Tâiqah : yang merindu, sangat menginginkan sesuatu
2. Tâbi’ah : yang mengikuti
3. Tâsi’ah : yang kesembilan
4. Tâliyah : yang membaca (al-Qur’an); yang berikutnya, yang
mengikuti
5. Tabrîz : yang lebih unggul; penampakan
6. Tahiyyah : ucapan selamat
7. Tarbiyah : : mendidik, pendidikan
8. Tarqiyah : meningkatkan, peningkatan
9. Tazkiyah : menyucikan (diri); penyucian (diri); rekomendasi
10. Tasliyah : menghibur, hiburan
11. Taghrîd : kicau burung
12. Taqiyyah : yang taqwa
13. Talîdah : klasik
14. Tamîmah : penciptaan yang sempurna; perlindungan
15. Tawaddud : cinta kasih
16. Tahâni : jamak dari kata tahni-ah ; ucapan selamat
17. Taima’ : padang sahara; nama lembah di bagian utara
jazirah Arab

1. Tsâbitah : yang kokoh; teguh hati; lurus
2. Tsariyyah : yang kaya
3. Tsurayya : kumpulan bintang
4. Tsuaibah : nama wanita penyusu Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam ; diminutif dari tsawâb (pahala)


1. Jâizah : hadiah, orang yang membolehkan
2. Jasîmah : yang besar badannya, gemuk
3. Jamîlah : yang cantik
4. Jalîlah : yang tinggi, mulia, agung
5. Jauharah : : mutiara
6. Jahra’ : ْ yang bersuara lantang, jelas
7. Jaida’ : leher yang jenjang
8. Jinân : (kata jamak dari jannah) taman, kebun, surga
9. Jumânah : butir mutiara yang besar
10. Juwairiyyah : nama salah seorang Isteri Rasulullah

1. Habibah : Kekasih; tersayang
2. Hasanah : Perkataan atau perbuatan yang baik
3. Hasibah : Yang memiliki keturunan terpandang
4. Hasna` : Cantik; indah; molek
5. Hakimah : yang bijaksana
6. Halwa : manisan
7. Halimah : Yang sabar, lembut; wanita yang menyusui Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam
8. Hamdunah : Yang memiji; yang bersyukur
9. Hamidah : Yang tingkah lakunya terpuji
10. Hannan : Yang banyak mengasihi; kelembutan hati
11. Hanin : Yang penuh kasih sayang
12. Hawwa` : yang mengandung sesuatu; isteri Nabi Adam
13. Haura` : Wanita berkulit putih yang memiliki mata yang
sangat hitam
14. Husna : Kesudahan yang menyenangkan
15. Hamnah : Kemudahan
16. Hishshah : Bagian; jenis mutiara
17. Husniyah : Yang bersifat baik
18. Hulwah : Mata atau mulut yang indah; manis
19. Humaira` : Diminutif (tashghir) dari kata ‘Hamra`’ (yang
kemerah-merahan)
20. Huriyah : Bidadari surga; wanita cantik
21. Hazimah : Yang memiliki keteguhan hati dan keyakinan diri;
bersikap tegas
22. Hafizhah : Yang memelihara, menjaga diri
23. Hamidah : Yang bersyukur; yang memuji

1. Khatimah : Kesudahan atau penghabisan sesuatu
2. Khathirah : Pikiran atau rasa yang melintas didalam hati
3. Khalidah : Abadi
4. Khalidiyah : Yang menisbatkan kepada ‘khalidah’
5. Khalishah : Murni, bening
6. Khashibah : Banyak kebaikan; subur
7. Khadhra` : Hijau; langit.
8. Khulashah : Kesimpulan; ringkasan
9. Khamilah : Beludru; hutan belukar
10. Khansa : Yang memiliki hidung mancung; wanita yang baik
11. Khaulah : Rusa betina
12. Khairiyah : Yang memiliki sifat baik
13. Khizanah : Harta yang disimpan; lemari

1. Daliyah : Pohon anggur
2. Danah : Batu mulia
3. Daniyah : Dekat
4. Dalilah : Bukti; jalan yang terang
5. Dauhah : Hujan yang turun terus-menerus dan tidak lebat
6. Daulah : Negara; pemerintahan
7. Daumah : Pohon yang lebat; kelangsungan
8. Dayyinah : Taat beragama
9. Diyanah : Agama
10. Dimah : Hujan yang turun terus-menerus
11. Durrah : Mutiara yang besar
12. Durriyah : Dinisbahkan kepada ‘Durrah’

1. Dzakirah : Yang berzikir; yang selalu ingat
2. Dzakiyyah : Cerdas
3. Dzahabiyyah : Yang memiliki sifat emas
4. Dzikra : Ingatan; ketenangan
5. Dzihniyyah : Menurut akal
6. Dzu`abah : Rambut yang dikepang; jambul

1. Ra`idah : Pemandu; penunjuk jalan
2. Rabihah : Yang beruntung
3. Rabi`ah : Subur; keempat
4. Rabiyah : Permukaan tanah yang menonjol
5. Rajihah : Yang utama; yang diprioritaskan
6. Rajiyah : Yang mengharapkan
7. Rasikhah : Yang tegar; yang kuat; yang tetap
8. Rasiyah : Yang tegar; yang kuat
9. Rasyidah : Yang matang pikirannya
10. Radhiyah : Yang rela; yang merasa puas
11. Raghibah : Yang menyayangi
12. Raghidah : Yang hidupnya enak
13. Raqiyah : Yang tinggi
14. Raniyah : Yang memandang dengan terpesona
15. Rabwah : Tanah yang mendaki
16. Rajwa : Permohonan
17. Rajiyyah : Yang diharapkan
18. Rahimah : Penyayang; pengasih
19. Rasmiyyah : Menurut resmi; dinisbatkan kepada ‘rasm’ (tulisan)
20. Rasyidah : Yang dibimbing; diberi petunjuk
21. Rashafah : Taman disekitar kota
22. Rashanah : Kewibawaan; ketenangan
23. Radhwa : Keridhaan; nama bukit yang terletak diantara
Madinah Dan Yanbu`
24. Radhiyyah : Yang puas
25. Raghdah : Kehidupan yang damai
26. Raghibah : Anugerah yang banyak; yang disenangi
27. Raghidah : Air susu; buih
28. Rafidah :Yang diberi pertolongan
29. Rafi`ah : Yang tinggi
30. Rafiqah : Istri; pendamping
31. Ramziyyah : Simbolik
32. Rana : Sesuatu yang indah dan enak dipandang
33. Rawdhah : Taman yang banyak pepohonannya
34. Raihanah : Wanita yang baik jiwanya
35. Rifqah : Perkumpulan; himpunan; nama istri Ishaq atau ibu
Yaqub
36. Riqqah : Kasih sayang; rasa malu; kelembutan
37. Ridah : Angin semilir

1. Zahirah : Cemerlang; Bercahaya
2. Zakiyyah : Yang beruntung
3. Zahra` : bentuk muannats (gender) dari kata Azhar; wajah
yang cemerlang; bulan; julukan Fathimah, putri
Rasulullah
4. Zahrah : Bunga; keindahan
5. Zahidah : Yang utama; yang diprioritaskan
6. Zahiyyah : Yang bersinar; cemerlang
7. Zainab : Nama putri dan isteri Rasulullah
8. Zubaidah : diminutif dari kata Zubdah ; intisari dari sesuatu
9. Zulfa : : Kedudukan, derajat;dekat;taman
9. Zuhdiyyah : ِ Dinisbahkan kepada kata Zuhd
10. Zuhrah : Putih mengkilat; warna yang bening

1. Sabikah : Batang emas yang dilebur
2. Sa`danah : Burung dara; bahagia
3. Sa`diyah : Yang menisbatkan kepada kata-kata sa`ad
(kebahagiaan)
4. Sa`adah : Kebahagiaan; Kesenangan
5. Sa`idah : Yang berbahagia; yang hidupnya enak
6. Sakinah : Tenang; berwibawa; lembut
7. Salsabil : Nama mata air di surga; air yang sedap
8. Salma : Selamat; sehat; nama pohon
9. Salwa : Madu; burung berwarna putih mirip seperti burung
layang-layang
10. Samahah : Kelapangan dada; kehormatan; kemudahan; gelar
bagi seorang mufti
11. Samihah : Yang tolerans; yang mulia
12. Samirah : Yang Mengobrol di waktu malam
13. Saniyyah : Berkedudukan tinggi; yang bersinar
14. Saudah : Harta melimpah; nama istri Nabi Muhammad saw
15. Sausan : Tumbuhan yang harum baunya dan banyak jenisnya
16. Sulthanah : Pemimpin wanita
17. Sumayyah : Berkedudukan tinggi; yang bersinar
18. Suha : Bintang kecil yang cahayanya tersembunyi
19. Suhailah : (Diminutif sahlah) Mudah.
20. Sabiqah : Yang terlebih dahulu
21. Satirah : Yang menutupi (seperti aib suaminya)
22. Sajidah : Yang bersujud
23. Sarrah : nama istri Ibrahim; yang bergembira
24. Salimah : Yang terhindar dari cacat; yang sehat
25. Samiyah : Tinggi; terhormat.
26. Sahirah : Tanah lapang yang mudah dijejaki; tanah lurus dan putih; mata air; bulan; yang berjaga malam

1. Syarifah : Yang mulia; yang terhormat
2. Syafi`ah : Perantara; yang memberi syafat
3. Syafiqah : Yang menaruh belas kasihan; iba hati; yang lemah
lembut
4. Syamma` : Yang berhidung mancung
5. Syahba` : Pasukan yang bersenjata lengkap
6. Syahla` : Yang memiliki mata kebiru-biruan
7. Syahidah : Wanita yang mati syahid
8. Syahirah : Yang termashur
9. Syaima` : Yang bertahi lalat; putrid halimah Sa`diyah,
saudara sesusuan Nabi saw
10. Syukriyyah : Yang memiliki sifat syukur

1. Shabirah : Yang bersabar
2. Shahibah : Istri; pendamping
3. Shadiqah : Benar; jujur
4. Sha`idah : Yang meninggi; yang mulai menonjol
5. Shalihah : : Yang memiliki keahlihan; kelayakan atau
keutamaan
6. Shabihah : Wajah yang berseri-seri; waktu pagi hari raya
7. Shadiqah : Teman; sahabat
8. Sha`dah : Sungai yang lurus; tanjakan
9. Shafiyyah : Yang bersih; jernih; murni; nama salah seorang istrI
Nabi saw
10. Shiddiqah : Yang banyak kebenarannya

1. Dhari`ah : Yang kecil mungil; yang masih muda; yang
merendahkan diri (arti positif)
2. Dhafiyah : Yang lebat (rambutnya)
3. Dhamrah : Yang halus kulitnya
4. Dhaminah : Yang menjamin; komitmen
5. Dhawiyah : Yang bercahaya; kurus
6. Dhahwah : Waktu Dhuha
7. Dhaifah : Tamu wanita
8. Dhifaf : (Jama` dari Dlaffah) Pinggiran sungai; tebing
lembah; suatu kelompok

1. Thalibah : Yang menuntut ilmu; yang menyenangi sesuatu
2. Thamihah : Yang ambisi untuk mencapai puncak
3. Thahirah : Suci; bersih; mulia; terlindungi dari maksiat dan
kehinaan
4. Thahiyah : Tukang masak yang pandai
5. Tharfa` : Yang baik, yang langka
6. Tharifah : Yang jarang ada; aneh, lucu
7. Thariyyah : Yang empuk; lunak; lembab
8. Thalawah : Yang baik, ceria
9. Thalihah : Yang cantik dan mengagumkan
10. Thali`ah : Pelopor; perintis
11. Thaibah : Negeri yang subur dan tentram.

1. Zhafirah : Yang beruntung; yang menang
2. Zha’inah : Yang bepergian
3. Zhahirah : Jelas; unggul; menang
4. Zhabyah : Kijang betina
5. Zharifah :Yang lembut dan halus
6. Zhafrah : Kemenangan
7. Zhalilah : Taman yang banyak pepohonannya
8. Zhufairah : Yang banyak mendapatkan kemenangan

1. A`idah : Yang datang; anugerah; keuntungan; manfaat
2. Abidah :Yang taat; yang beribadah; kepada Allah
3. ‘Abirah : Pelalu lalang; yang sedih (berlinang air mata)
4. ‘Atikah : Yang jernih; mulia
5. ‘Adilah : Yang berbuat adil
6. ‘Arifah : Yang mengetahui; anugerah
7. ‘Asilah : Yang mengambil madu dari tempatnya; yang
berbuat baik
8. ‘Ashimah :Ibu kota suatu negara; yang menjaga suami dan
dirinya dari dosa
9. ‘Athifah :Perasaan; rasa kasih saying
10. ‘Aqila : Yang berakal; pandai
11. ‘Akifah : Yang menetap; beri’tikaf
12. ‘Alimah : Pandai; berilmu
13. ‘Amirah : Penghuni; lembah; yang dipenuhi oleh keimanan
dan pekerti yang mulia
14. ‘Ahidah : Yang menjaga janji atau urusan
15. ‘Ablah : Wanita yang sempuran fisiknya
16. ‘Adzbah : Sedab; baik; enak; lezat
17. ‘Adzra` : Perawan; julukan bagi Maryam
18. ‘Azbah : Yang manis dan nikmat
18. ‘Azzah : Anak kijang/rusa
19. ‘Azizah : mulia; terhormat; kuat
20. ‘Azmah : Kekuatan; keinginan
21. ‘Asjad : Emas; mutiara
22. ‘Asla` : campuran dengan madu
23. ‘Asyirah : Kabilah
24. ‘Ashma` : Yang terlindungi; yang terpelihara
25. ‘Athfah : Yang penuh welas dan kasih sayang
26. ‘Afifah : Yang mensucikan diri; yang baik
27. ‘Afra` : Jenis kijang/rusa yang amat putih
28. ‘Aliyyah : Tinggi
29. ‘Alya` : Tempat yang tinggi; puncak gunung; langit;
kemuliaan
30. ‘Anbarah : Minyak wangi;za’faran
31. ‘Awathif : Jamak dari kata ‘Athifah ; yang penyayang; baik
akhlaqnya
32. ‘Itrah : Kerabat dekat
33. ‘Ithaf : Pedang; pakaian
34. ‘Iffat : Yang suci, menjaga diri
35. ‘Inayah : Perhatian; pertolongan; tuntunan
36. ‘Urubah : Yang cantik dan berhijab; Yang tertawa
37. ‘Ulayya : Diminutif dari kata ‘Alya` ; Puncak; langit;
kemuliaan

1. Ghadah : Wanita yang lembut
2. Ghaziyah :Yang mampu menaklukkan hati karena
kecantikannya
3. Ghaliyah : Mahal harganya; campuran minyak wangi
4. Ghazalah : Saat matahari terbit; kijang; pertama dari sesuatu
5. Ghaniyyah : Yang memiliki harta berlimpah
6. Ghaitsanah : Awan yang menurunkan hujan
7. Ghaina` : Pohon yang dahan-dahannya rimbun
8. Ghaida` : Wanita yang anggun dan lembut
9. Ghurrah : Awal munculnya bulan sabit; pemuka kaum; wajah
10. Ghulwa` : Yang berlebihan; kematangan masa muda

1. Fa`izah : Yang beruntung; yang menang
2. Fa`iqah : Yang paling menonjol kecantikannya dan
kebaikannya
3. Fatihah : Permulaan sesuatu; surat fatihah
4. Fakhirah : Yang bagus sekali
5. Fadiyah : Yang mengorbankan diri untuk orang lain dan
menyelematkannya
6. Fari’ah : Yang panjang dan tinggi
7. Fadhilah : Yang utama; yang menonjol
20. Falihah : Yang sukses meraih apa yang diinginkan
21. Fathiyyah : Dari kata Fath ; pangkal kebaikan, kemenangan
dan keberuntungan
22. Fatiyyah : Yang muda dan penuh vitalitas
23. Fakhiriyyah : Yang bersifat kebanggaan
24. Farhah : Kesenangan; kegemberiaan
25. Faridah : Mutiara yang berharga; yang tiada saingannya;
sendirian
26. Farizah : Yang sudah diundi dan diseleksi
27. Fashihah : Fasih; lancar dan baik bicaranya
28. Fathinah : Cerdas
29. Fakihah : Yang baik jiwanya
30. Fahimah : Yang banyak paham
31. Fauziyyah : Yang bersifat keberuntungan
32. Faiha` : Rumah yang luas; julukan bagi kota Damaskus,
Bashrah dan Tripoli, Libanon; kuah yang ada
rempah-rempahnya
33. Fairuz : Batu permata yang berwarna biru agak kehijauhijauan
34. Fidhdhah : Perak
35. Fikriyyah : Yang bersifat pemikiran

1. Qabilah : Dukun beranak
2. Qanitah : Wanita yang berdiri lama saat shalat dan berdoa
3. Qani’ah : Yang merasa puas; sederhana
4. Qarirah : Wanita yang lapang hatinya
5. Qathifah :Nama tumbuhan; Pakain yang dilemparkan
seseorang ke arah dirinya sendiri
6. Qamariyyah : Jenis burung dara yang berkicau
7. Qismiyyah : Wajah yang cantik penampilannya
8. Qiladah : Kalung
9. Qudsiyyah : Kesucian dan keberkahan
10. Qudwah : Panutan; suriteladan

1. Katibah : Sekretaris
2. Katimah : Yang menyembunyikan rahasia, pemegang
amanah di dalam beramal
3. Kadziyah : Nama jenis bunga yang harum baunya.
4. Kasibah : Yang beruntung.
5. Kazhimah : Dapat menahan diri dari amarah
6. Kafiah : Yang mencukupkan sehingga tidak perlu yang lain
5. Kamilah : Yang sempurna; yang komplit
6. Kahilah : Wanita yang bercelak
7. Karimah : Yang mulia;anak; saudara perempun
8. Kawakib : Bintang-gemintang
9. Kayyisah : Wanita yang berakal jernih dan cerdik
10. Kinanah : Penjagaan; perlindungan

1. Labibah : Wanita yang cerdas; pandai
2. Lahzhah : Sekilas pandang
3. Lathifah : Wanita yang lembut; baik
4. Lamya` : Yang keabu-abuan; agak kurus (sedikit daging)
5. Lahfah : Kerinduan
6. Lawahizh : Mata yang awas
7. Laila : َ Malam yang gelap
8. Lu`lu`ah : Mutiara
9. Lubabah : Inti sesuatu; pilihan; nama istri Abbas bin Abdul-
Muthalib.
10. Lubanah : Hajat kebutuhan
11. Lubna : Sejenis pohon yang mempunyai air seperti madu
dan terkadang dijadikan sebagai wewangian
dengan membakarnya; madu
12. Luwazah : زَة Pohon yang berbuah dan amat masyhur; buah badam

1. Ma`munah : Yang dapat dipercayai
2. Matsilah : Yang menyerupai; tampil
2. Majidah : Yang mulia; yang agung; yang baik budinya
3. Mariyah : Wanita yang wajahnya berseri-seri; nama salah
seorang istri nabi saw berasal dari Mesir Mariyah
al-Qibthiyyah
4. Mazinah : Yang bercahaya wajahnya
5. Maziyah : Awan yang membawa air hujan berseri-seri
7. Mahirah : Pandai
8. Mabrukah : Yang pendapat barakah
9. Mahabbah : Kecintaan; kasih saying yang tulus
10. Mahasin : Keindahan
11. Mahbubah : Yang dicintai; yang disayang; terkasih
12. Mahrusah : Yang terlindungi; yang terpelihara; julukan bagi
kota Cairo, ibukota Mesir
13. Mahfuzhoh : Sesuatu yang dihafal/dijaga dengan penuh
perhatian
14. Madihah : Yang terpuji; Yang banyak memuji
15. Marjanah : Satu biji mutiara
16. Marjuwwah : Orang yang diharapkan
17. Marzaqah : Yang memperoleh rizki yang banyak
18. Marwah :tumbuhan medis dan beraroma; nama bukit di Mekkah (Yaitu tempat sa’i)
19. Maryam : Nama ibu Isa as
20. Mazaya : Kelebihan; keunggulan
21. Masarrah : Kegembiraan
22. Musrurah : Yang bergembira
23. Mas`udah : ْ Yang berbahagia
24. Masya`il : Sesuatu yang dinyalakan untuk penerangan;obor
25. Masykurah : Yang diterima kasihi
26. Masyhurah : Terkenal; termasyhur
27. Mashunah : Yang terjaga
28. Ma’azzah : Tempat yang dimuliakan
29. Ma’zuzah : Yang memiliki kedudukan di kalangan kaumnya
30. Ma’unah : Yang tidak kikir untuk membantu kaumnya
31. Mafakhir : Sesuatu yang dibangga-banggakan
32. Maqbulah : Yang diterima
33. Maqshudah : Yang dituju
34. Makkiyyah : Dinisbahkan kepada kota Mekkah
35. Malihah : Cantik; indah penampilannya
36. Mamduhah : Yang dipuji
37. Manal : Anugerah dan nikmat Allah
38. Manahil : Sumber ilmu dan akhlaq
39. Mantsurah : Ucapan yang baik
40. Mansyudah : Yang dituntut untuk memenuhi kepentingan manusia; yang diidam-idamkan
41. Manshurah : Yang ditolong
42. Mani`ah : Kuat perkasa
43. Mawaddah : Kasih saying; kecintaan
44. Mauhibah : Anugrah; hadiah; pemberian
45. Mahdiyyah : Yang mendapat hidayah Allah
46. Mahibah : Yang disegani; penuh wibawa
47. Mayyasah : Bintang yang berkilau
48. Mayyadah : Yang bergoyang-goyang
49. Maitsa` : Pepasir yang ringan dan tanah datar yang baik
50. Maysurah :Yang dimudahkan
51. Maimunah : Yang diberi kebaikan; yang diberi taufik
52. Maila : Pohon yang banyak cabangnya; yang condong
53. Miskah : Kasturi
54. Misykah :Lentera
55. Mibarrah : Makanan untuk bepergian yang ringan
56. Mu’minah : Wanita yang beriman
57. Mu’nisah : Wanita yang menghibur
58. Mubinah : Yang menjelaskan apa yang diinginkannya
59. Mujahidah : Yang berjihad
60. Muhsinah : Yang berbuat baik
61. Mukhlishoh :Yang ikhlas